BAHAGIA, MAU?

Duduk manis di pinggir pantai bersama sahabat, ditemani dua benda mati yaitu pensil dan selembar kertas. Aku mengantar mentari yang ingin terbenam dan tertelan lautan. SENJA.
Aku akan pergi jika kau ingin
Aku akan hinggap jika kau berkehendak
Setidaknya senja lebih membuat aku bahagia
Senja lebih memberi kepastian
“kapan ia akan datang dan kapan ia akan pergi”
Bisakah, kau melebihi kepastian sang senja?kasih.
                                                            @2k18.
“Doni, hayuh atuh balik, geus adzan maghrib iyeu teh”. Karena angin begitu besar, suaraku tidak terdengar oleh Doni. Namun, setelah aku mengulangnya beberapa kali. Akhirnya, lamunan Doni tersadar.
Kegiatan kami sebagai santri PP.Al-Mubarok Jawa Barat sangatlah padat. Namun, di sore hari adalah jam istirahat dari semua  kegiatan yang ada di pondok. Waktu ini biasanya dihabiskan untuk bersantai, mengantri mandi, memasak, menghafal nadzom, dan ada juga yang pergi ke pantai.
Pondok kami berada di pinggir pantai, untuk pergi ke pantai  tak perlu repot-repot mengeluarkan biaya yang begitu mahal. Karena dengan jalan kaki pun sudah sampai.
Tak jarang aku, Doni, dan santri-santri lainnya berkunjung ke pantai, hanya saja untuk menikmati keindahan senja.Kami bersyukur dapat menikmati ciptaanTuhan yang sempurna, melihat dengan cuma-cuma dan secara langsung oleh mata kepala kami sendiri, tanpa perantara handphone atau yang lainnya. Jika kalian tahu, mata juga merupakan kemurahanTuhan yang harganya tak ternilai. Hal tersebut patut kita syukuri, pasalnyajika mata kita buta, apakah kita masih bisa melihat keindahan ciptaan-Nya lagi? naudzubillah!. Dan syukurnyaTuhan masih bermurah hati, mulailah bersyukur dari hal-hal yang kecil.
Doni berasal dari Yogyakarta, Doni merasa ada hal yang berbeda. terlebihsituasi, keadaan,dan suhu diJawa Barat berbeda sekali dengan yogyakarta.
sebelum ia berasrama di Pondok Al-Mubarok. SemasaDoni masih di rumah, Doni sering berselancar di dunia internet terlebih mbah google. Bahkan, ia kerap sekali sowan(berkunjung) hanya sekedar mempertanyakan hal-hal yang ada di pikirannya. terkadang juga ia sekedar chat-ingan dengan teman sebayanya. Lama kelamaan Doni merasa bahwa semua itu hal yang membosankan, hal yang muncul tetap saja sama itu dan itu lagi. Banyak khayalnya pula, jika di nalar “apakah kau dapat sungguhan membeli senjata-senjata yang ada di dalam game online?, untuk sekedar memegangnya secara langsungpun kau sama sekali belum pernah merasakannya”. Kemudian Doni berfikir “sebenarnya aku itu hidup di dunia nyata, atau di dunia maya?”.
Terkadang, Selalu saja muncul di akun instagramnya foto-foto pemandangan alam yang membuatnya tertarik ingin melihatnya secara langsung. Terlebih Doni jatuh hati ketika melihat senja di sore hari.
 Ia bosan dengan semua tipu daya dunia maya, Doni lelah karena hati dan raganya selalu saja bertengkar, ia ingin mencari jati dirinya dan mencoba untuk mandiri. Terlebih, ia ingin mengejar sesuatu yang selama ini membuatnya selalu penasaran, yaitu Senja.
“Kunaon milih mondok di diyeu atuh Doni?, dulu Mamahku pernah pesan sama aku. Kata Mamahku: Azam, kalau kamu ingin mencari ilmu. Pergilah ke arah timur. Dan jika kamu ingin mencari pekerjaan maka arah yang tepat untuk kau pilih adalah arah barat”.
“Muhun ema” aku menjawab ibuku dengan takdzim.
Setelah aku bertanya seperti itu, Doni melamun. Tak terasa sudah 30 menit berlalu tanpa suara kami mengantar senja hari ini pergi tenggelam di lautan.namun, masih saja ia terlihat merenungi kata-kataku.Angin tetap saja menghempas tubuh kami terus-menerus.
“hm..aku ra reti e Zam.” Doni menjawab dengan expresi kebingungan dan bergeleng, juga tatapannya kosong.
Kemudian, setelah percakapan tadi langit membisu.
Senyap..
“ha,ha,haha...wkwk..”kesunyian terpecah dengan tawa kami yang mulanya canggung kemudian lepas dengan sendirinya,entah apa yang memancing geliak tawa kami, kami tak peduli.langit bergemuruh ikut bahagia. Aku dan Doni tidak tahu akan hal bodoh macam apa yang tadi kami obrolkan, kami tak ingin ambil pusing.anggap saja tadi hanya candaan. Lalu aku berbisik dalam hati kecilku “apakah ini yang di namakan bahagia?’. Ah,sudahlah.
Aku dan Doni di pertemukan di Pondok Al-Mubarok, Jawa Barat identik dengan suku Sundanya. Biarpun Doni jawa tulen, namun ia sudah berada di pondok selama1 semester lamanya. Setidaknya sekedar mengerti atau sudah bisa menjawabi itu sudah cukup baik, memangnya adaptasi Bahasa seberapa lamanya sih?. Terkadang aku dan Doni berbicara dengan 3 bahasa, yaitu: Sunda, jawa, B.Indonesia. Walaupun aku tinggal di kota cirebon,aku bukan asli Sunda. Tapi, orang jawa yang sudah lama tinggal di lingkungan orang Sunda. Jadi,sedikit-sedikit bisa berbahasa Sunda. Sama seperti Doni, bahkan Doni hanya membutuh kan waktu 1 semester saja untuk bisa berbahasa Sunda.
Pandu Ramdhoni, ia terlahir dari keluarga yang serba ada dan serba tercukupi. Pak Hadi adalah pengusaha besar yang sukses. pak Hadi sudah  mempunyai lima ribu karyawan pada perusahaannya yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan ibunya yang bernama Bu Minah adalah seorang PNS, guru matematika di sebuah SMA favorit di kota Yogyakarta.sejak kecil, Doni jarang sekali bersama kedua orangtuanya. Karena kedua orang tuanya selau sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sepanjang harinya Doni di tititpkan bersama baby sitter di rumah, paling-paling ia bisa bertemu orang tuanya ketika waktu pulang kerja. Itu pun di sore hari, apakah orang yang baru pulang kerja tidak capek? Pasti capek kan. Oleh sebab itu, Doni tak berani meminta apa-apa. Setelah pulang orang tuanya pasti istirahat, kemudian bangun sekitar jam lima. Lalu sibuk kembali, masak, mandi dan siap-siap sholat maghrib   Jarang sekali Doni mendapat perhatian kasih sayang dari kedua orang tuanya langsung.
Bahkan ketika di hari ultahnya yang ke 10 tahun, ayah Doni sedang berada di luar kota karena ada urusan perusahaan yang harus segera di urus.Doni sangat menyesal, bahkan Doni marah. Sampai-sampai ia berkata “Mamah sama Papah tuh sibuk terus, kapan Doni dapat perhatian kasih saying dari MamahPapah? Kalo begini terus, mending Doni pergi dari rumah  ajjah.”. ibunya tak bisa berkata apa-apa lagi. Kemudian Doni berlari dan menangis ke luar rumah.

Dapatkah waktumu ku beli
Wahai orangtuaku…
Aku memang tak memiliki banyak uang
Namun setidaknya
Bolehkanlah aku membeli waktumu sebentar saja
Dengan uangku ini yang hanya 500 rupiah
Hanya untuk sekedar menemaniku bercanda
setelah itu, kau boleh kembali dengan kesibukanmu
dan tinggalkan aku lagi
kemudian Bu Minah menghampiri Doni yang sedang berada di luar rumah dan menangis, sang ibu berusaha untuk menenangkan Doni. Namun, ketika ia membaca apa yang barusaja Doni tulis. Sang ibu pun ikut menangis dan memeluk anaknya. Dan sekali lagi bu minah tak bias berkata apa-apa.
Jika dari sudut pandang orang lain, bahkan sudut pandang aku sendiri. keluarga pak Hadi bisa di katakan “keluarga yang bahagia dan juga tercukupi”. tak heran jika orang lain menilai seperti itu. memang demikian, harta keluarga Doni sangatlah berlimpah. Mobil kedua orangtuanyapun berbeda-beda merk, belum lagi motor yang biasanya di gunakan untuk berpergian dalam jarak dekat. Walaupun sejak dahulu Segala keinginan Doni kecil selalu saja terpenuhi. Namun, dalam hati kecil Doni terselip sebuah kata yang terus-menerus menghantuinya. Yaitu makna bahagia.
Kerap sekali Doni di serang rasa kesedihan, hatinya pilu, ingin rasanya ia seperti teman-teman yang lain. Yang mendapat perhatian penuh dari orang tuanya, kasih sayang orang tua, seperti anak-anak lain.
“Zam, manja sama kasih sayang itu beda gx sih?” .pernahDoni menanya hal demikian.aku tak bisa menjawab apapun, takutku jika nanti jawabanku salah akan menyakiti hati Doni. Namun, Doni pernah berkata demikian. ”aku benci dengan kemanjaan, karenaKemanjaan yang aku dapatkan dari pemenuhan materi, bukan dari jiwa raga orang tuaku, jika terus begini kapan aku bisa mandiri, mencari jati diriku akan makna bahagia”.
“Jujur Zam, sungguh rasanya aku ingin berteriak kalua aku tidak bahagia kepada kedua orang tuaku, namun aku tak kuasa.” Doni hanya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Sungguh di senja hari ini aku berharap segala penderitaan yang di alami Doni semoga saja di bawa pergi Bersama senja.
“udah Doni, yang sabar ya. Semoga ajjah orang taumu suatu saat bisa ngertiin perasaan mu.” Aku tak malu walaupun Bersama kepergiannya, sang senja selalu saja melihat kami yang setiap sore rajin berkunjung di pantai ini. Namun, saat ini pemandangannya berbeda. Doni sedang membutuhkan pertolongan, lalu ku biarkan Doni menangis di atas bahuku kubiarkan air matanya terjatuh di pasir pantai.semoga saja air mata itu menjadi saksi Bersama senja di sore ini.
Bahagia…oh bahagia…
Engkau itu semanis apa sih?
Sehingga jarang sekali di temukan, boleh esok lusa aku membelimu?

Aku dan Doni,kita saling kenal saat awal masuk gerbang pesantren. Saat itu, santri yang datang pun masih sangat sedikit. Karena, yang lain masih terlena dengan liburannya. alakadarnya, hanya saja pengurus-pengurusyang harus pulang cepat karena membantu Abuya.
Doni sama sekali tidak memiliki rasa gengsi, ia mempunyai rasa toleran yang tinggi. ia sesosok yang sederhana walaupun hanya cover luarnya saja.
Kami adalah dua santri baru yang ke-mruputen lek mangkat. alasan diriku berangkan lebih dulu, karena jika telat akan ada denda semen. Aku pun sadar jika aku orang tak punya, karena itulah aku putuskan sebelum kegiatan pondok aktif aku harus sudah ada di pondok. Namun, beda cerita dengan Doni. Baginya sama saja di rumah dengan di pondok sama-sama tak di perhatikan. Namun, ia lebih memilih berangkat karena jika terus kelamaan di rumah hanya menambah sakit hatinya saja.
Doni membaiat ku sebagai teman pertamanya, ia sama sekali tidak menghiraukan perbedaan kasta kita. Walaupun terkadang, aku sendiri yang minder kalau akutidak pantas berteman dengan Doni. Doni sangat murah hati. Aku hanya berasal dari kasta bawahan, ayah ibu mencari nafkah dengan banting tulang. demi membiayai bulanan pun ayah ibu harus bekerja keras. Karena jika tidak bekerja dari manakah rezeki akan datang. “walaupun sudah di atur Tuhan, manusia juga punya perananuntuk berusaha mencarinya”. Karena itulah Abahku menasihatiku agar tidak malas-malasan.
Banyaknya harta tidak menjamin pancaran senyum bahagia seseorang
Kepenuhan materi
Malah sering di jadikan budak nafsu
Jika kau benar-benar seorang yang kaya raya
Dapatkah uangmu membayar pancaran mentari
Cukup sehari saja, sanggupkah kau manusia?
Kekayaanmu tak dari sekedar kecilnya semut hitam di malam hari
Dari kekayaan Tuhan ,renungkanlah.
Pernah di suatu senja Doni membacakan puisinya ini untukku,ia berniat membesarkan hatiku. Sewaktu ia selesai membaca puisi tadi, aku hanya tertunduk. Lama-kelamaan air mataku mengalir sebening air sungai, menetes melewati dataran pipi, semurni susu, sedalam palung di lautan, sekuat karang diterpa ombak, luluh hatiku, lebur jiwaku.Tanpa pikir Panjang langsung ku peluk Doni ganti, aku berucap padanya “Doni, hatur nuhun. Kamu sudah bantu aku menemukan kebahagiaanku, berarti penilaianku selama ini salah “jika bahagia hanya karena harta benda” nyatanya dengan keadaan kita yang saat ini, walaupun hanya sebatas mengantar sang mentari pergi. Namun,ini sangat berarti  Aku merasa bahwa ini lah bahagiaku. Makasih banyak ya Doni”. Aku berucap seraya mengusap air mata yang berusaha untuk jatuh. namun akhirnya jatuh pula di pundak Doni.
“Ya sudahlah Zam, lebih baik kita pulang ke asrama saja. Sudah masuk waktu sholat magrib ini”
“makasih banyak ya Don”.
“kalau kamu ngomong terimakasih lagi, nanti aku suruh bayar lima ratus perak loh perkatanya.”
“Eh…iya dah iya, wkwkw..pulang ajjah yuh”.
***
Setelah kejadian kemarin, sudah dua hari ini aku selalu sendiri menikmati senja. Seperti ada yang hilang entah kemana perginya. Doni tak bisa menemaniku, ia sakit dan tak bisa pergi kemanapun. Pernah aku mengajaknya untuk bersenja, kemudian ia hanya bisa menjawab “badanku lemas Zam, maaf aku tidak bisa”. Setelah itu aku tidak pernah berani lagi mengajaknya karena mungkin jika aku terus memaksanya, malah aku yang gx tau diri. Ya sudahlah.
Pagi hari saatnya sarapan kemudian siap-siap berangkat sekolah.
“Udah makan belom kamu don?”
“Belom Zam, aku laper Zam soalnya gx ada yang ambil makan. Terus lagi lauk hari ini fundamental banget lagi, lauknya 3T: Terong,Tempe,Tahu. Mulutku kan lagi pahit. Tolong lah Zam, beliin makan di luar pondok
“aduh Don, sekarangkan gerbang pondok masih di tutup. Gimana ini?”
***
Setelah bingung, aku pun tak tega melihat Doni lemas kelaparan seperti itu. Berfikir dan berfikir, merenung, pusing. Dan akhirnya jalannya ketemu. Aku sering melihat teman-teman naik benteng yang ada di sudut utara pondok itu. Tapi masa iya aku nekat, tapi ya harus gimana lagi coba hanya itu jalan satu-satunya. Bentengnya tinggi lagi. Apa bisa aku menaikinya? Coba saja dulu lah.
“duh tinggi banget ya, bisa gx ini? Bisa gx bisa aku harus bisa demi Doni. Coba kalau Doni tak ada mungkin aku masih terus saja di hantui kebahagiaan yang selama ini terus aku renungi di setiap senja. Aku harus bisa!.
“satu, dua, tiga. Ya!..hore aku berhasil”
“Hey kamu yang di atas benteng, turun! Cepat turun.” Suara garang kang Dzibril terdengar nyelekit di kuping ku.
“Haaaaaaaa… aduh!. Aku malah jatuh di sebrang benteng lagi, gimana ini. Duh gimana ya?.Biarlah, masalah kang Dzibril nanti aku urus sendiri yang penting Doni sembuh dulu kasian dia kelaparan”. Aku jatuh di seberang benteng lagi.Langsung sajalah aku menuju warung makan membelinya untuk doni.
“Azam Mudrik, kau di tunggu kang Dzibril di keamanan.”
Huft..Pasrah ajjah lah.
“hey kamu, mengapa kamu melakukan...” ucapan kang Dzibril terpotong
“Eh Azam, kok disini. Kenapa? Kamu kan rajin Jamaah, Ngaji pun rajin kok bisa? Pasti ada sesuatu yang mendesakmu?” tanya kang Asep.
“Tadi aku beli nasi buat Doni yang lagi sakit kang, mulutnya pahit jadi aku beliin nasi di warung”.
“Oh, yasudah. Tapi kamu berkata jujurkan? Aku hargai pengorbananmu, tapi bukan berarti kamu lepas dari hukuman. Aku hukum kamu roan(membersihkan) pondok satu minggu. Ya sudah sana kasihkan nasinya ke Doni. Kasihan dia.”
“Hatur nuhun kang Asep”
***
Selepas itu beberapa hari kemudian, akhirnya Doni sembuh.
Kemudian kami berdua terduduk di tempat bersenja kami semula. aku dan Doni terus memandangi mentari yang sebentar lagi di telan samudra. aku bersyukur memiliki taman yang dapat memahamiku, kita di sini saling memahami.
“Don lihatlah mentari sudah terbenam namun ia masih meninggalkan jejak-jejak pancarannya di langit biru, kau tahu ini pertanda apa?”. Doni tak meragukan lagi karena ia mahir dalam mencerna kata. Ia tampak malu menjawab “kenangan, iya kan Zam?”.
Ha…ha…ha..kami berdua mengakhiri senja dengan geliakan tawa yang lepas hanyut di telan samudra.
Kita duduk bersenja bersama..
Menepis penghantuan dalam renung ini tentang makna “bahagia”
Dalam diri kita masing-masing mewarnainya dengan berbeda-beda
Aku, kamu dan mereka, temukanlah warnamu sendiri.

TAMAT

Komentar

  1. saat membaca, mataku sampai berkaca-kaca. karya mu telah mengajarkan tentang makna bahagia, tentang keberanian demi persahabatan (ketulusan), juga tentang persatuan dalam perbedaan suku & budaya. semoga bisa mengispirasi para pembaca . semangat, lanjutkan berkarya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya setuju mbak. Saya juga sampai nangis membacanya. Ditunggu karya selanjutnya.

      Hapus
    2. sebelumnya terima kasih bu amin atas supportnya, ini semua berkat anugrah yang tuhan berikan. bisa saya hanya berikhtiar. dan insyaallah bermanfaat bagi pembaca. amin.

      Hapus
    3. @fathurohman faiq terimakasih juga pak :)

      Hapus
  2. Sampe banget pesannya. Mbrebes mili aku. Lanjutkan!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. di terusin ajjah nangisnya, gx papa kok!
      selagi tuhan belom ngelarang untuk nangis wkwkw:D

      Hapus
  3. Puisinya keren, bahagia mau? Mau😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. beneran mau?
      nanti pesan saja di warung pinggir masjid, nanti aku yang bayar :v

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer