KONSEPTUALISASI TEMAN DALAM HUBUNGAN BERPASANGAN
KONSEPTUALISASI
TEMAN DALAM HUBUNGAN BERPASANGAN
Oleh: Labieb
Muzhoffar
PENDAHULUAN
Perkembangan
fase remaja menuju fase dewasa adalah detik dimana kondisi emosional individu
sedang merasakan perasaan yang terkadang tidak bisa didefinisikan oleh
kata-kata. Baik itu karena ketidak mengertian kita terhadap rasa yang sedang
kita alami, ataupun ketidak pahaman kita akan sebuah perasaan yang tiba-tiba
muncul begitu saja tanpa pernah kita sadari sebelumnya. Keberadaan teman dalam
ruang lingkup individu sangatlah berpengaruh untuk kondisi sosial. Namun, siapa
sangka terkadang seseorang membutuhkan teman agar dirinya merasa nyaman untuk
menjadi seorang individu yang berarti. Tempat berkeluh kesah, dan juga tak
jarang kehadiran seorang teman sangat dibutuhkan disaat-saat tertentu. Mungkin,
bisa saja seseorang dapat bertahan di kesepain yang ia rasakan. Namun, hal
tersebut tidak akan bertahan lama. Karena sejatinya manusia membutuhkan
interaksi minimalnya 12 jam sekali dalam kehidupan. Jika lebih dari 12 jam
tersebut maka rasa gelisah akan mulai menjalar keseluruh tubuh sehingga
timbullah emosi negative yang akan menghantui dan bisa menjadikan mood
seseorang tersebut menjadi temperamental.
PEMBAHASAN
Masa-masa sekolah adalah masa
dimana kita sedang semangat mencari ilmu. Namun, tidak bisa kita pungkiri pada
kenyataannya. Masa sekolah adalah masa dimana awal perjumpaan “kepemahaman”
dengan “kenyataan” kita dalam kehidupan bertemu menjadi sebuah peristiwa yang
sebelumnya belum pernah kita sadari. Realistis akan analitika yang tergambar
atas asumsi manusia pada umumnya. Tergambar jelas dan kita temukan sendiri
dalam kenyataan.
Teman, adalah sebuah instrument kehidupan
dimana manusia dimuka bumi ini pasti memiliki ikatan pertemanan. Komponen yang
membangun relasi pertemanan adalah timbulnya sebuah rasa dimana kita ingin
selalu bersamanya, berbagi Bersama, bercerita, menghabiskan waktu, bercanda ria
dan berbagi duka. Namun, konseptualisasi pertemanan yang tak jarang kita jumpai
pada masa dewasa ini sedikit berbeda dirasakan. Dinamisasi zaman yang semakin
hari semakin merubah tatanan konstruk yang telah lama terbangun menjadi sebuah
konseptualisasi sederhana menjadi multi tafsir cultural. Sejatinya bukan
hanya “teman” dalam bentuk konstekstualis. Akan tetapi pengimplementasian
bentuk teman, kemudian penempatan kata teman, dan konstruk kultural pun ikut
mewarnai kondisi sosio culture menjadi semakin dinamis.
Berbagai idealisasi pertemanan
pasti dirasakan oleh setiap individu. Namun, bijak dalam “menempatkan” tafsiran
adalah sebuah pekerjaan yang nyata bagi kita semua dalam membentuk kesadaran
akan lingkungan sekitar. Dimana dampak dari multi tafsir ini akan berdampak
pada jejaring karakteristik yang salah mengartikan. Nanti, akan terasa terhadap
Outcame yang ada didapat akan menghasilkan sebuah hasil dimana
pertemanan ini akan memiliki veluenya tersendiri dalam sudut pandang si
individu tersebut.
Pasangan adalah teman. Lebih jauh
makna yang dibahas mengenai hal tersebut. Klasifikasi atas asumsi dan
pengadopsian makna akan berpengaruh besar tentang sedalam apa kita memahami kontekstualitas
dan konstruksitas individu memaknai arti pertemanannya. Tidak dianggap sepele
bahwa yang memiliki sudut pandang “pasangan adalah teman segalanya” merupakan
sesosok individu yang secara komprehensif menelaah bentuk pemaknaan “teman” dengan
literatur yang ia punya dengan dipadukan atas sudut pandang dan pengalaman. Tak
jarang orang yang sudah mencapai fase tersebut sering merasa rindu. Hal tersebut
wajar. Sebab respondensi emosi yang ada pada dirinya mulai menjalarkan rasa
gelisah atas pertemuan dan kesiapan sesosok individu kepada seseorang yang
dirindu.
Hal tersebut bisa terjadi pada
siapa saja yang memiliki ideologisasi yang sama. Sudut pandangnya tentang teman
sudah mencangkup hal diluar kendali atas keterpuncakannya memaknai arti sebuah “rasa
pertemanan”. Teman adalah yang membangun, tempat ternyaman untuknya pulang. Dan
tempat berlindung disaat emosionalitas seseorang sedang dirundung rasa gelisah.
Seucap kata dari seseorang yang kita nantikan ucapannya itu bisa membangkitkan kekuatan
atau power afirmation terhadap diri seseorang sehingga yang tadinya ingin
menyerah. Namun, secara terasimilisasi ia akan survive.
KESIMPULAN
Pernyataan ini tidaklah benar dan
tidak pula salah. Namun, secara fakta Empiris hal ini tidak bis
akita pungkiri didalam kehidupan manusia. Pernyataan “teman” mengundang banyak
perspektif yang terakumulasi menjadi sebuah dogmatisasi seseorang agar
menentukan tafsiran makna dari makna yang dikembangkan dari kontekstualisasi
menjadi globalisasi pemikiran. Kebebasan dalam ber-pespektif sangat dijunjung
tinggi penulis kepada pembaca dalam memaknai kata “teman” menurut sudut pandang
masing-masing individu. Namun, terdapat hal yang tak kalah penting. Sebagai landasan
teoritik setiap individu harus memiliki kajian secara fundamental akan penemuan
pengetahuan yang ia temukan secara alamiyah dasar.
Ketidak adaannya justifikasi dari
penulis mengajak para pembaca untuk kebebasan berfikir (merdeka berfikir) yang
nanti harapannya dapat menjadi sebuah tools self control akan
kebijaksanaannya dalam menafsirkan sebuah kata yang kontekstual secara global.
REFERENSI
Data empiris yang penulis kembangkan secara mandiri
melandaskan teoritik kepemahaman dan kajian akan hal tersebut. (Bekasi : 2023)
pelataran rumah, ditemani kopi hitam.
Komentar
Posting Komentar